Manajemen Berbasis Sekolah (Makalah Kuliah Kite Gan)

A. Pendahuluan

            Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi gelombang perubahan dalam segala sendi kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini merupakan pergeseran terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini penggunaan pradigma sentralistik selanjutnya terjadi pergeseran orientasi menuju paradigma desentralistik. Perubahan orientasi paradigma ini diberlakukan melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah, yang lebih sering kita dengar dengan terminologi otonomi daerah.

kemudian bergulir tema besar dalam kerangka reformasi pendidikan di Indonesia. Sebagai bagian dari tema tersebut, diperkenalkanlah konsep manajemen berbasis sekolah (school-based management) yang disingkat dengan MBS. Secara konseptual MBS dipahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal untuk mengelola struktur penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan sekolah sebagai unit utama peningkatan.[1]

Konsep ini menempatkan redistribusi kewenangan para pembuat kebijakan sebagai elemen paling mendasar, untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Pada sisi ini MBS merupakan cara untuk memotivasi kepala sekolah untuk lebih bertanggung jawab terhadap kualitas peserta didik.[2] Untuk itu sudah seharusnya kepala sekolah mengem-bangkan program-program kependidikan secara menyeluruh untuk melayani segala kebutuhan peserta didik di sekolah.

Semua personel sekolah selazimnya menyambut dengan merumuskan program yang lebih operasional, karena merekalah pihak yang paling mengetahui akan kebutuhan peserta didiknya.

Inilah filosofi MBS yang paling mendasar. Di Indonesia, pendekatan MBS di samping diposisikan sebagai alternatif, juga sebagai kritik atas penyelenggaraan pendidikan yang selama ini tersentralisasi. Pendidikan sentralistis tidak mendidik menejemen sekolah untuk belajar mandiri, baik dalam hal manajemen kepemimpinan maupun dalam pengembangan institusional, pengembangan kurikulum, penyediaan sumber belajar, alokasi sumber daya dan terutama membangun partisipasi masyarakat untuk memiliki sekolah.

Tulisan ini menguraikan manajemen pendidikan nasional dalam konteks kekinian, terutama setelah pendidikan menjadi salah satu sektor yang didesentralisasikan. Dengan adanya desentralisasi pendidikan, manajemen pendidikan persekolahan menjadi otonom. Sekolah memperoleh otonomi, dan dengan adanya otonomi itu, maka sekolah memiliki otonomi untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan perencanaan sekolah.

Dalam era otonomi khususnya otonomi pendidikan, daerah diharapkan dapat secara mandiri mengelola pendidikan termasuk dalam hal ini adalah lembaga pendidikan (sekolah) berbentuk madrasah. Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pilihan sekaligus orientasi pemerintah daerah dalam era otonomi tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

B. Manajemen Berbasis Sekolah

            1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah

Dalam era otonomi daerah, pendidikan perlu dikelola dengan memperhatikan kepentingan sekolah itu sendiri untuk berkembang secara optimal dan mandiri. Oleh karena itu, MBS merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan oleh pemerintah daerah.

Definisi komprehensif mengenai MBS yang dikemukakan oleh Malen sebagaimana dikutip Ibtisam Abu Duhou adalah suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya pendidikan dapat didorong dan ditopang.[3]

Selanjutnya, Candoli mendefinisikan MBS, sebagai suatu cara untuk memaksa sekolah itu sendiri mengambil tanggung jawab atas apa saja yang terjadi pada anak menurut jurisdiksinya dan mengikuti sekolahnya.[4] Konsep ini menegaskan bahwa ketika sekolah itu sendiri dibebani dengan pengembangan total program kependidikan yang bertujuan melayani kebutuhan anak dalam mengikuti sekolah, personil sekolah akan mengembangkan program yang lebih meyakinkan karena mereka mengetahui kebutuhan belajar siswa.

Definisi tentang MBS menegaskan bahwa konsep tersebut mengacu pada manajemen sumber daya di tingkat sekolah dan bukan di suatu sistem atau tingkat yang sentralistik. Melalui MBS, sekolah diberi pengawasan lebih besar atas arah yang akan dicapai oleh organisasi sekolah tersebut. Pengawasan atas anggaran dianggap merupakan inti dari MBS.

Terkait erat dengan kebijaksanaan anggaran adalah pengawasan atas penetapan peran, penggajian, dan pengembangan staf. Pada ekstrim lainnya, beberapa sekolah diberi pengawasan atas kurikulum sebagai bagian dari MBS. Di sini suatu kurikulum berbasis sekolah berarti bahwa masing-masing sekolah memutuskan bahan-bahan ajar apa akan digunakan, dan juga model pelaksanaan spesifik. Para staf menentukan beberapa kebutuhan pengembangan profesional mereka sendiri, serta beberapa struktur di mana proses pendidikan akan dikembangkan.[5]

MBS ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan, mengingat prinsip dan kecenderungannya yang mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah pada pihak-pihak yang dianggap paling mengetahui kebutuhan riel sekolah.

Oleh karena itu, jika kita semua sedang gencar berbicara tentang reformasi pendidikan, maka dalam konteks MBS, tema sentral yang diangkat adalah isu desentralisasi. Desentralisasi dalam pengertian sebagai pengalihan tanggung jawab pemerintahan pusat dalam hal perencanaan, manajemen, penggalian dana, dan alokasi sumberdaya ke pemerintah daerah.

Terkait dengan desentralisasi, MBS dikembangkan untuk membangun sekolah yang efektif. Hanya saja konsep desentralisasi model MBS mengacu pada sekolah swa-manajemen (self managing school) bukan pada penyelenggara sekolah mandiri (self governing school).[6]

Respon yang muncul atas MBS bermacam-macam. Depdiknas merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.[7] Maksud yang sama dikemukakan oleh Miarso yang menyatakan bahwa arti pengelolaan berbasis sekolah ini adalah pelimpahan wewenang pada lapis sekolah untuk mengambil keputusan mengenai alokasi dan pemanfaatan sumber-sumber berdasarkan aturan akuntabilitas yang berkaitan dengan sumber tersebut.[8]

Asumsi kebijakan manajemen berbasis sekolah adalah bahwa dengan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab yang meningkat ke sekolah, serta proporsi dana lebih besar dalam mendukung pencapaian tujuan kebijakan sesuai dengan serangkaian garis pedoman kebijakan yang lebih eksplisit dan meletakkan strategi manajemen prestasi yang terartikulasi di atas perencanaan tersebut, maka hal tersebut akan memudahkan dan mendorong peningkatan efektivitas dan efisiensi pendidikan publik.[9]

Hal ini berarti bahwa tugas manajemen sekolah ditentukan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, anggota pengelola sekolah (dewan direktur, pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, siswa dan seterusnya) memiliki otonomi dan tanggung jawab lebih besar dalam mengelola kegiatan pendidikan di sekolah.

Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efesiensi, mutu dan pemeratan pendidikan. Peningkatan efesiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan propesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai control, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif.

 

2. Implementasi MBS pada Madrasah

Menurut Suwito, pesatnya perkembangan pendidikan di Indonesia dapat dinilai cenderung menghasilkan pendidikan ke arah sistem yang bersifat birokratis sentralistik. Berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat cenderung sebagai ”sabda pandita ratu” yang mesti harus dilaksanakan oleh daerah-daerah. Hal ini dapat dilihat antara lain sejak keharusan memakai pakaian seragam sampai hal-hal yang menyangkut kurikulum.

Sistem yang demikian cenderung menjadikan ”keseragaman” sebagai tujuan. Hasil kebijakan yang demikian adalah manusia-manusia yang bermentalitas ”juklak” dan ”juknis” menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.

Akibat lebih jauhnya akan melahirkan manusia yang bermentalitas di bawah bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran sehingga harus patuh dan tunduk pada perintah yang ada, betapapun anehnya perintah tersebut. [10]

Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat berperan untuk senantiasa diaktualisasikan sehingga bisa menjadi petunjuk sesuai dengan fungsinya antara lain sebagai faktor pembimbing, pembina, pengimbang, penyaring dan pemberi arah dalam hidup menuju masyarakat yang di dalamnya tecipta persemakmuran intelektual di dalam bingkai agama. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan kecuali syari’at Islam itu sendiri yang di dalamnya sarat dengan petunjuk ke arah kebaikan.[11]

Pendidikan Islam merupakan pangkal ketaatan dan kebenaran, merupakan sarana untuk menciptakan manusia menjadi mukmin yang sempurna serta menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang shaleh dalam seluruh segi kehidupannya.

 Pendidikan Islam yang tujuan akhirnya mengarahkan agar anak didik menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah. Masalah yang muncul dalam menyikapi otonomi pendidikan adalah posisi madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam.

Apakah madrasah yang telah lama berada di bawah naungan Departemen Agama akan segera sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat II sebagaimana sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Diknas atau apakah madrasah tetap dalam skema yang berjalan selama ini.

Pilihan apapun yang di ambil oleh Departemen Agama akan menimbulkan tarik menarik dan mengandung implikasi tersendiri bagi keberadaan madrasah sebagai instansi pendidikan Islam. Implementasi konsep MBS Departemen Agama mengembangkannya dalam bingkai Madrasah Mandiri.

Mandiri dalam mengelola program dan sumberdaya seperti: pengetahuan, tekhnnologi, kekuasaan, material, manusia, waktu, dan keuangan. Dengan system ini, sekolah – sekolah dideregulasi oleh pemerintahan pusat, sementara kontrol dan pengaruh lokal diperluas dengan tujuan sekolah diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mengurus segala keperluan dan mengembangkan programnya. Dalam hal ini strategi peningkatan kualitas sekolah bergerak dari bawah ke atas.[12]

Dengan pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level madrasah diharapkah madrasah lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakat. Model ini merupakan bentuk alternatif sekolah/madrasah dalam program desentralisasi pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat madrasah/sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan nasional.[13]

Dari sini dapat kita pahami bahwa segala sesuatu membutuhkan sebuah perencanaan yang matang. Untuk merumuskan implementasi manajemen berbasis sekolah di sebuah madrasah harus ada tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Perencanaan

Pada langkah awal perumusan MBS, hal-hal yang perlu dilaksanakan adalah :

a. Mengidentifikasi sistem, budaya dan sumber daya, mana yang perlu     dipertahankan dan mana yang harus dirubah dengan memperkenalkan terlebih dahulu format yang baru dan tentunya lebih baik.

b. Membuat komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang bertanggung jawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya dan sumber daya yang cukup mendasar.

c. Hadapilah penolakan terhadap perubahan dengan memberi pengertian akan pentingnya perubahan demi mencapai tujuan bersama.

d. Berkerja dengan semua unsur sekolah dalam menjelaskan atau memaparkan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana dan program-program penyelenggaraan MBS.

e. Menggaris bawahi prioritas sistem, budaya dan sumber daya yang belum ada dan sangat diperlukan.

2. Mengidentifikasi Tantangan Nyata madrasah

Pada umumnya tantangan madrasah bersumber pada output (lulusan) sekolah yang meliputi kualitas, produktifitas, efektibilitas dan efisiensi. Maka sangat diperlukan identifikasi dari hasil analisis output untuk mengetahui tingkat kualitas, produktifitas, efektibilitas dan efisiensi dari output yang dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan.

3. Merumuskan visi, misi, tujuan sasaran sekolah yang dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah.

– Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.

– Misi adalah tindakan untuk mewujudkan atau merealisasikan visi tersebut.

–  Tujuan adalah apa yang ingin dicapai atau dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan kapan tujuan itu mungkin dicapai.

– Sasaran adalah penjabaran tujuan yang akan dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih pendek dibandingkan dengan tujuan sekolah. Rumusannya harus berupa peningkatan yang spesifik, terukur, jelas kriterianya dan disertai indicator yang rinci.

4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran. Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah unsur-unsur kegiatan beserta unsurunsur pendukungnya yang saling berkaitan dan tidak dapat berdiri sendiri. Sejauh mana kesiapan fungsi-fungsi tersebut terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan dalam mencapai sasaran.

5. Melakukan analisis potensi lingkungan (analisis SWOT) Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan utnuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Prinsip analisis SWOT adalah :

– Kekuatan-kekuatan apa yang kita miliki ?

  Bagaimana memanfaatkannya ?

– Kelemahan-kelemahan apa yang kita miliki ?

  Bagaimana meminimalkannya ?

– Peluang-peluang apa yang ada ?

   Bagaimana memanfaatkannya ?

– Ancaman apa yang mungkin menghambat keberhasilan ?

   Bagaimana mengatasinya ?

6. Memilih langkah-langkah alternatif pemecahan persoalan. Dalam setiap kegiatan dimungkinkan adanya permasalahan yang timbul. Hendaklah kita tidak menghindari masalah akan tetapi harus kita hadapi dengan solusi pemecahan yang sudah kita rencanakan sebelumnya.

7. Menyusun Rencana Program Peningkatan Mutu. Penyusunan program peningkatan mutu harus disertai langkah-langkah pemecahanan persoalan yang mungkin terjadi. Fungsi yang terlibat beserta unsur-unsurnya membuat rencana program untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang serta bersama-sama merealisasikan rencana program tersebut. (rencana program biasanya tertuang dalam renstra sekolah).

8. Melaksanakan Rencana Program Peningkatan Mutu Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu maka fungsi-dungsi terkait hendaknya memanfaatkan sumber daya secara maksimal, efektif dan efisien.

9. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program, baik program jangka pendek maupun program jangka panjang.

10. Merumuskan Sasaran Peningkatan Mutu Baru. Dari hasil evaluasi kita dapat memperoleh tingkat keberhasilan dan kegagalannya sehingga dapat memperbaiki kinerja program yang akan datang. Disamping itu evaluasi juga sangat berguna sebagai bahan masukan bagi sekolah untuk merumuskan sasaran (tujuan) peningkatan mutu untuk tahun yang akan dating.[14]

 

 

C. Penutup

            Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut:

1. Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut adanya sekolah yang otonom dan kepala sekolah yang memiliki otonomi, khususnya otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang bersifat implementatif dan aplikatif untuk merealisir manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga pendidikan persekolahan.

2. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan oleh political will pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan.

3. Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin Siahaan dkk, 2006 Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Jakarta: Quantum Teaching.

 

Djati, Sidi, Indra, 2000, ”Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan”, Makalah, Bandung: PPs UPI.

 

Fadjar, Malik, 2002, Kata Pengantar dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management (Penerjemah Noryamin Aini), Jakarta: Logos.

 

Jalal, Fasli, Supriadi, Dedi (ed) 2001, Reformasi Pendidikan Dalam Otonomi Daerah, Yogyakarta, Adicita Karya Nusa

 

Mahfuz, Ali, Syekh, 1958 Hidayat al-Musyidin (Cet. VI; Kairo: al-Matba’at al-Usmaniyyah al-Misiyyah,

 

Noho, Mubin, 2006,  ”Implementasi Model manajemen Pendidikan di Madrasah Dalam Era Otonomi Sekolah” dalam Jurnal Foramadiahi, Vol.2 No. 1 Juni.

 

Nurkolis. 2003, Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo

 

Suwito, 2002, Pendidikan Yang Memberdayakan, Pidato pengukuhan Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tanggal 3 Januari.

 

Yusuf, hadi, Miarso. Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan.


[1] A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, (Jakarta: Logos, 2002), h. xv-xvi

[2] Indra Djati Sidi, ”Kebijakan Penyelenggaraan OtonomiDaerah Bidang Pendidikan”, Makalah, Bandung: PPs UPI, 2000

[3] Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, (Jakarta: Logos, 2002), h.. 16

[4] Candoli, Site-Based Management in Education: How to Make It Work in Your School, (Lancaster: Technomic Publishing Co, 1995), xi

[5] Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h.. 25

[6] Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed) Reformasi Pendidikan Dalam Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h. 122

[7]  A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Base Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xvii

[8] Yusufhadi Miarso. Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 696-697

[9] Amiruddin Siahaan dkk, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, (Jakarta: Quantum Teaching, 2006), h. 5.

[10] Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, Pidato pengukuhan Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tanggal 3 Januari 2002, h.10

[11] Syekh Ali Mahfuz, Hidayat al-Musyidin (Cet. VI; Kairo: al-Matba’at al-Usmaniyyah al-Misiyyah, 1958), h. 69-70.

[12] Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xvii. Sebagai instituisi pendidikan, maka madrasah mempunyai kelemahan dalam sistem pendidikannya, seperti diungkapkan oleh Mastuhu, yang kenyataannya anak-anak madrasah tetap masih belum mampu bersaing dengan anak-anak sekolah umum dalam memasuki PTU dan lapangan kerja. Lihat Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta:Logos, 1999), h. 58

[13] Mubin Noho, ”Implementasi Model manajemen Pendidikan di Madrasah Dalam Era Otonomi Sekolah” dalam Jurnal Foramadiahi, Vol.2 No. 1 Juni,2006, h. 33

[14] Nurkolis. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo,  2003, h..,39-42

2 responses to “Manajemen Berbasis Sekolah (Makalah Kuliah Kite Gan)

Tinggalkan komentar